Perlu disadari bahwa
seorang anak memperlihatkan perilaku yang tampil sebagai sikap menantang, sikap
tidak mudah menerima saran-saran atau nasihat orang lain itu sangat dipengaruhi
oleh suasana di luar dirinya atau adanya faktor psikologis yang mempengaruhinya
sebagai faktor pencetusnya. Jadi bukan
diakibatkan oleh faktor bawaan anak.
Faktor pencetus yang menjadi pemicu penyimpangan perilaku anak tersebut,
kadangkala tidak tunggal sebagai penyebab, melainkan dari rentetan hubungan
kausal dari berbagai faktor pencetus.
Faktor-faktor pencetus
yang menjadi sumber munculnya sikap menentang (membangkang / melawan), sikap
tidak mudah menerima nasihat atau saran-saran itu antara lain :
Orang Tua terlalu Menekan Anak
Pada umumnya yang
terjadi, orang tua dalam mengkomunikasikan segala sesuatu pada anaknya dengan
pola menekan anak dan memaksa anak patuh padanya. Seperti menyampaikan keinginan, memberi
petunjuk, memberi nasihat atau saran-saran dengan memaksakan kehendak. Anak dipaksa harus dapat mengubah,
mengarahkan dan menyesuaikan perilakunya sesuai keinginan orang tua.
Pendek kata, orang tua
menganggap dirinya serba tahu apa yang harus diperbuat atau dilakukan
anak. Anak dipandang sebagai robot orang
tua yang hanya boleh menjalankan dan membentuk perilaku sesuai dengan yang
digariskan orang tua.
Ironinya, pemaksaan
ego orang tua ini, sebenarnya sebahagian besar tanpa kita sadari. Hal ini muncul akibat dari anggapan bahwa
orang tua memiliki dominasi dan kekuasaan penuh terhadap anak. Hal lain yang mendorong orang tua menjadi
otoriter kepada anak, kemungkinan orang tua dihimpit oleh berbagai persoalan
sendiri.
Persoalan atau
kesulitan tersebut menyebabkan orang tua tidak punya waktu dan tak mampu
berpikir jernih untuk menentukan cara komunikasi yang efektif dengan anak. Orang tua tergiring pada anggapan praktis,
yaitu perlakuan keras dan tegas pada anak akan membentuk dan mengarahkan
perilaku anak sesuai dengan yang diharapkan.
Orang tua lupa, bahwa
anak juga punya jiwa, perasaan, keinginan atau kehendak bawah sadarnya sendiri
atau otonom, sama seperti dirinya. Oleh
karena itu, komunikasi yang menekan dan terbangun secara searah tersebut dapat
menimbulkan jurang pemisah yang cukup dalam karena masing-masing mempunyai
keinginan atau kehendak yang berbeda.
Ketika orang tua
memaksakan keinginan atau kehendak dengan nada keras, menggurui, marah atau
dengan kata-kata kasar, tentu yang muncul bukan kesadaran dan kepatuhan anak,
melainkan reaksi perlawanan anak secara spontan atau tak langsung. Reaksi perlawanan anak ini muncul karena
setiap manusia memang memiliki naluri untuk mempertahankan diri (defense
mechanism) dari bentuk-bentuk intervensi atau tekanan dari luar dirinya.
Dengan kata lain,
tidak seorangpun yang mau menerima dengan senang hati dan ikhlas segala bentuk
teguran, amarah, hukuman maupun kata-kata kasar yang memojokkan dirinya dari
orang lain, walau dari orang tuanya sekalipun.
Bentuk ketersinggungan
atau kejengkelan anak atas perlakuan orang tua tersebut secara spontan, sebagai
wujud perlawanan atau pembangkangan, seperti menampik atau menyanggah perkataan
orang tua, menolak lengsung perintah orang tua atau melakukan perlawanan
fisik. Secara tak langsung, seperti
mengabaikan teguran atau perintah orang tua, menunjukkan wajah cemberut, kaku,
tegang, marah, murung, menangis, mengurung diri, dan lain sebagainya.
Kalaupun anak
melakukan apa yang kita kehendaki tersebut, tentu itu dilakukan dengan cara
terpaksa. Kesadaran anak untuk menilai
atau menginterpretasikan maksud orang tua sangatlah rendah. Anakpun cenderung menilai negatif maksud
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar