Rabu, 15 Januari 2014

Mengapa Anak Suka Membangkang Atau Melawan ?

Perlu disadari bahwa seorang anak memperlihatkan perilaku yang tampil sebagai sikap menantang, sikap tidak mudah menerima saran-saran atau nasihat orang lain itu sangat dipengaruhi oleh suasana di luar dirinya atau adanya faktor psikologis yang mempengaruhinya sebagai faktor pencetusnya.  Jadi bukan diakibatkan oleh faktor bawaan anak.  Faktor pencetus yang menjadi pemicu penyimpangan perilaku anak tersebut, kadangkala tidak tunggal sebagai penyebab, melainkan dari rentetan hubungan kausal dari berbagai faktor pencetus.

Faktor-faktor pencetus yang menjadi sumber munculnya sikap menentang (membangkang / melawan), sikap tidak mudah menerima nasihat atau saran-saran itu antara lain :

Orang Tua terlalu Menekan Anak

Pada umumnya yang terjadi, orang tua dalam mengkomunikasikan segala sesuatu pada anaknya dengan pola menekan anak dan memaksa anak patuh padanya.  Seperti menyampaikan keinginan, memberi petunjuk, memberi nasihat atau saran-saran dengan memaksakan kehendak.  Anak dipaksa harus dapat mengubah, mengarahkan dan menyesuaikan perilakunya sesuai keinginan orang tua. 

Pendek kata, orang tua menganggap dirinya serba tahu apa yang harus diperbuat atau dilakukan anak.  Anak dipandang sebagai robot orang tua yang hanya boleh menjalankan dan membentuk perilaku sesuai dengan yang digariskan orang tua.

Ironinya, pemaksaan ego orang tua ini, sebenarnya sebahagian besar tanpa kita sadari.  Hal ini muncul akibat dari anggapan bahwa orang tua memiliki dominasi dan kekuasaan penuh terhadap anak.  Hal lain yang mendorong orang tua menjadi otoriter kepada anak, kemungkinan orang tua dihimpit oleh berbagai persoalan sendiri.

Persoalan atau kesulitan tersebut menyebabkan orang tua tidak punya waktu dan tak mampu berpikir jernih untuk menentukan cara komunikasi yang efektif dengan anak.  Orang tua tergiring pada anggapan praktis, yaitu perlakuan keras dan tegas pada anak akan membentuk dan mengarahkan perilaku anak sesuai dengan yang diharapkan.

Orang tua lupa, bahwa anak juga punya jiwa, perasaan, keinginan atau kehendak bawah sadarnya sendiri atau otonom, sama seperti dirinya.  Oleh karena itu, komunikasi yang menekan dan terbangun secara searah tersebut dapat menimbulkan jurang pemisah yang cukup dalam karena masing-masing mempunyai keinginan atau kehendak yang berbeda.

Ketika orang tua memaksakan keinginan atau kehendak dengan nada keras, menggurui, marah atau dengan kata-kata kasar, tentu yang muncul bukan kesadaran dan kepatuhan anak, melainkan reaksi perlawanan anak secara spontan atau tak langsung.  Reaksi perlawanan anak ini muncul karena setiap manusia memang memiliki naluri untuk mempertahankan diri (defense mechanism) dari bentuk-bentuk intervensi atau tekanan dari luar dirinya.

Dengan kata lain, tidak seorangpun yang mau menerima dengan senang hati dan ikhlas segala bentuk teguran, amarah, hukuman maupun kata-kata kasar yang memojokkan dirinya dari orang lain, walau dari orang tuanya sekalipun.

Bentuk ketersinggungan atau kejengkelan anak atas perlakuan orang tua tersebut secara spontan, sebagai wujud perlawanan atau pembangkangan, seperti menampik atau menyanggah perkataan orang tua, menolak lengsung perintah orang tua atau melakukan perlawanan fisik.  Secara tak langsung, seperti mengabaikan teguran atau perintah orang tua, menunjukkan wajah cemberut, kaku, tegang, marah, murung, menangis, mengurung diri, dan lain sebagainya.


Kalaupun anak melakukan apa yang kita kehendaki tersebut, tentu itu dilakukan dengan cara terpaksa.  Kesadaran anak untuk menilai atau menginterpretasikan maksud orang tua sangatlah rendah.  Anakpun cenderung menilai negatif maksud tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar